Nih.. Kawan-kawan kita orang punya teka-teki loh, kalo ada yang tau jawabannya, HEBAT! Teka teki ini tidak mengandung trick, hanya murni logika. Semoga Anda beruntung, dan jangan cepat menyerah!
Ada 5 buah rumah yang masing-masing memiliki warna berbeda. Setiap rumah dihuni satu orang pria dengan kebangsaan yang berbeda-beda. Setiap penghuni menyukai satu jenis minuman terntentu, merokok satu merek rokok tertentu dan memelihara satu jenis hewan tertentu. Tidak ada satupun dari kelima orang tersebut yang minum minuman yang sama, merokok merek rokok yang sama dan memelihara hewan yang sama seperti penghuni yang lain.
Pertanyaannya : Siapakah yang memelihara IKAN?
Petunjuk:
Orang Inggris tinggal di dalam rumah berwarna merah.
Orang Swedia memelihara anjing.
Orang Denmark senang minum teh.
Rumah berwarna hijau terletak tepat di sebelah kiri rumah berwarna putih.
Penghuni rumah berwarna hijau senang minum kopi.
Orang yang merokok PallMall memelihara burung.
Penghuni rumah yang terletak di tengah-tengah senang minum susu.
Penghuni rumah berwarna kuning merokok Dunhill.
Orang Norwegia tinggal di rumah paling pertama.
Orang yang merokok Marlboro tinggal di sebelah orang yang memeliharakucing.
Orang yang memelihara kuda tinggal di sebelah orang yang merokok Dunhill.
Orang yang merokok Winfield senang minum bir.
Di sebelah rumah berwarna biru tinggal orang Norwegia.
Orang Jerman merokok Rothmans.
Orang yang merokok Marlboro bertetangga dengan orang yang minum air.
Albert Einstein menyusun teka teki ini pada abad yang lalu. Dia menyatakan, 98% penduduk didunia tidak mampu memecahkan teka teki ini.
Apakah anda termasuk yang 2%?
Selasa, 31 Maret 2009
Kamis, 19 Maret 2009
Tukang Pulsa di Jalan Soetomo
Hari itu saya kehabisan pulsa. Karena saat itu saya tengah di rumah paman, daerah cawang, saya segera beranjak keluar kearah jalan Kolonel Soetomo. Sepengetahuan saya, di sana ada beberapa gerai mungil yang menyediakan pulsa. Singkat kata, saya menghampiri gerai pertama yang terletak di pinggir jalan. Lokasinya di bawah sebatang pohon ganitri tua yang rindang.
Seorang pemuda berkacamata dengan rambut gondrong dan acak-acakan menyapa, “cari apa, bos?” Saya lalu menanyakan voucher fisik senilai 25 ribu dari operator langganan saya. Voucher tersebut tersedia dengan bandrol harga 27 ribu. Demikian penjelasannya.
Saya sodorkan padanya selembar uang 100 ribu. tanpa protes, ia bergegas pamit untuk mencari kembalian. Maklumlah, pagi itu ia baru saja mulai berjualan. Berbeda dengan pedagang lain yang kerap “marah” dan bersikap kurang sopan serta enggan membantu bila kita menyodorkan uang gede. Sebab, hal itu akan menyulitkan mereka dalam memberikan kembalian. Ternyata si gondrong gonjes dan terlihat urakan ini berbeda. Ia ramah dan cekatan memberikan layanan purna jual yang memuaskan. Hebat! Anak muda, sederhana, dan beradab. Padahal, awalnya saya sempat menduga ia tak ubahnya anak-anak muda lainya yang cuek dan tak peduli pada sesama. Ternyata, dugaan saya sama sekali salah. Ia malah menyimpan adab yang istimewa.
Bahkan, hal itu belum seberapa. Selesai mengisi pulsa, saya bergegas kembali kerumah paman. Di tengah perjalanan, tepatnya di pengkolan (cukup jauh dari lokasi gerai penjualan pulsa), saya diteriaki orang. Lamat-lamat saya dengar suara memanggil-manggil,
:”Bos… Bos…!”
Awalnya saya tidak menghiraukan teriakan itu, karena tidak merasa sebagai bos. Tetapi, lama-lama agak curiga juga. Sebab, derap langkah orang di belakang saya semakin keras. Waduh, ada apa ini? Pikir saya curiga. Jangan-jangan ada yang ingin meminta pertanggungjawaban saya, nih? Terus untuk urusan apa? Batin saya.
Sejurus kemudian, tanda tanya besar dibenak saya sirna dan berganti menjadi keheranan yang tak kalah besar. Ternyata, Si Mas penjual pulsa sedang terengah-engah, berlari, berusaha menyusul saya. Ada apa lagi ini? Apa uang yang saya berikan palsu? Atau jangan-jangan kembaliannya kelebihan? Yang pasti, saya berpikiran, semua upaya Si penjual pulsa tentulah disebabkan adanya kerugian yang dideritakanya. Namun, terpaksa saya harus terhenyak sekali lagi. Nyaris tak percaya. Si tukang pulsa berlari terengah-engah sejauh lebih 500 meter itu tak lain hanyalah demi menyerahkan selembar uang ribuan kepada saya.
”Lho, kenapa?” tanya saya cepat.
”Mmaaf... s..se..kali, Bos! Tadi saya salah memberi harga. Untuk voucher yang tadi di beli hanya 26 ribu saja. Bukan 27 ribu!” ujarnya sambil terengah-engah. Penjelasannya kurang jelas terdengar, terutama karena bicaranya putus-putus setelah berlari sekencang-kencangnya demi mengejar saya.
Takjub saya mendengarnya. Di zaman yang hampir frustasi mencari nilai-nilai kejujuran, seorang pemuda yang tampaknya putus sekolah dan berpenampilan ala seniman jalanan mengajarkan saya sebuah nilai kebenaran.
Dalam khayal saya, seolah saya berhalusinasi setengah tak percaya: apa beliau ini salah satu pemuda ashabul kahfi yang terlontar dari lambirin waktu? Sepertinya ’aneh’ mendapati seoarang anak muda yang jujur di tengah derasnya gerusan hedonisme jalanan. Dan, maaf bila saya berkesimpulan, bahwa komitmen terhadap kejujuran adalah alat tukar yang paling tidak favorit serta paling tidak laku untuk ditukarkan dengan kenikmatan apapun selain predikat aneh, bodoh, dan konyol.
Coba bayangkan kekonyolan pemuda ini yang meninggalkan gerainya begitu saja tanpa dijaga untuk mengejar seorang konsumen yang bahkan tidak tahu ada selisih dalam proses pembelian produk yang dikonsumsinya demi mengembalikan uang seribu rupiah! Apa nikmatnya coba? Padahal, ketika itu cuaca mendung mulai menitikan gerimis yang membasahi semua area yang dilaluinya.
Setelah semua itu saya merenung; adakah nilai kebahagiaan yang lebih berharga dari setumpuk uang yang menawarkan jaminan kenyamanan? Apakah itu gerangan? Ketenagan hati. Ya, berbuat baik pada orang lain dan memegang teguh komitmen pada nilai yang diyakini adalah obat paling mujarab dalam membebaskan diri dari hantu yang bernama rasa bersalah.
Subhanallah , memang rencana Allah Swt sedemikian dahsyatnya. Satu hari kemudian ketika saya membaca sebuah Harian Nasional Islami, tatapan saya tertumbuk pada sebuah kolom yang yang di tulis Mbak Nabila. Isinya adalah penjabaran praktikal tentang sebuah konsep yang diusung dalam salah satuhadist shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari: Jadikanlah tanah tempat kita berpijak dan mencari rezeki ini sebagai ”masjid”. Ya, masjid. Sebuah konsep ruang yang dipandang dari sudut manapun senantiasa dihubungkan dengan proses komunikasi dengan Allah Swt, alias tempat ibadah. Weleh-weleh, kalau bumi ini masjid, maka setiapaktivitas di dalamnya mestinya ibadah dong! Bersikap jujur dan berlari menembus badai hanya demi mengembalikan seribu rupiah pasti di maknai Si pemuda tukang pulsa ini sebagai ibadah! Maka ia bahagia ketika sadar bahwa misinya untuk tidak mengkhianati komitmennya tercapai.
Hidup ini tidak akan pernah merugi dan tidak akan pernah disesali bila kita menjalninya dengan sepenuh hati.
Seorang pemuda berkacamata dengan rambut gondrong dan acak-acakan menyapa, “cari apa, bos?” Saya lalu menanyakan voucher fisik senilai 25 ribu dari operator langganan saya. Voucher tersebut tersedia dengan bandrol harga 27 ribu. Demikian penjelasannya.
Saya sodorkan padanya selembar uang 100 ribu. tanpa protes, ia bergegas pamit untuk mencari kembalian. Maklumlah, pagi itu ia baru saja mulai berjualan. Berbeda dengan pedagang lain yang kerap “marah” dan bersikap kurang sopan serta enggan membantu bila kita menyodorkan uang gede. Sebab, hal itu akan menyulitkan mereka dalam memberikan kembalian. Ternyata si gondrong gonjes dan terlihat urakan ini berbeda. Ia ramah dan cekatan memberikan layanan purna jual yang memuaskan. Hebat! Anak muda, sederhana, dan beradab. Padahal, awalnya saya sempat menduga ia tak ubahnya anak-anak muda lainya yang cuek dan tak peduli pada sesama. Ternyata, dugaan saya sama sekali salah. Ia malah menyimpan adab yang istimewa.
Bahkan, hal itu belum seberapa. Selesai mengisi pulsa, saya bergegas kembali kerumah paman. Di tengah perjalanan, tepatnya di pengkolan (cukup jauh dari lokasi gerai penjualan pulsa), saya diteriaki orang. Lamat-lamat saya dengar suara memanggil-manggil,
:”Bos… Bos…!”
Awalnya saya tidak menghiraukan teriakan itu, karena tidak merasa sebagai bos. Tetapi, lama-lama agak curiga juga. Sebab, derap langkah orang di belakang saya semakin keras. Waduh, ada apa ini? Pikir saya curiga. Jangan-jangan ada yang ingin meminta pertanggungjawaban saya, nih? Terus untuk urusan apa? Batin saya.
Sejurus kemudian, tanda tanya besar dibenak saya sirna dan berganti menjadi keheranan yang tak kalah besar. Ternyata, Si Mas penjual pulsa sedang terengah-engah, berlari, berusaha menyusul saya. Ada apa lagi ini? Apa uang yang saya berikan palsu? Atau jangan-jangan kembaliannya kelebihan? Yang pasti, saya berpikiran, semua upaya Si penjual pulsa tentulah disebabkan adanya kerugian yang dideritakanya. Namun, terpaksa saya harus terhenyak sekali lagi. Nyaris tak percaya. Si tukang pulsa berlari terengah-engah sejauh lebih 500 meter itu tak lain hanyalah demi menyerahkan selembar uang ribuan kepada saya.
”Lho, kenapa?” tanya saya cepat.
”Mmaaf... s..se..kali, Bos! Tadi saya salah memberi harga. Untuk voucher yang tadi di beli hanya 26 ribu saja. Bukan 27 ribu!” ujarnya sambil terengah-engah. Penjelasannya kurang jelas terdengar, terutama karena bicaranya putus-putus setelah berlari sekencang-kencangnya demi mengejar saya.
Takjub saya mendengarnya. Di zaman yang hampir frustasi mencari nilai-nilai kejujuran, seorang pemuda yang tampaknya putus sekolah dan berpenampilan ala seniman jalanan mengajarkan saya sebuah nilai kebenaran.
Dalam khayal saya, seolah saya berhalusinasi setengah tak percaya: apa beliau ini salah satu pemuda ashabul kahfi yang terlontar dari lambirin waktu? Sepertinya ’aneh’ mendapati seoarang anak muda yang jujur di tengah derasnya gerusan hedonisme jalanan. Dan, maaf bila saya berkesimpulan, bahwa komitmen terhadap kejujuran adalah alat tukar yang paling tidak favorit serta paling tidak laku untuk ditukarkan dengan kenikmatan apapun selain predikat aneh, bodoh, dan konyol.
Coba bayangkan kekonyolan pemuda ini yang meninggalkan gerainya begitu saja tanpa dijaga untuk mengejar seorang konsumen yang bahkan tidak tahu ada selisih dalam proses pembelian produk yang dikonsumsinya demi mengembalikan uang seribu rupiah! Apa nikmatnya coba? Padahal, ketika itu cuaca mendung mulai menitikan gerimis yang membasahi semua area yang dilaluinya.
Setelah semua itu saya merenung; adakah nilai kebahagiaan yang lebih berharga dari setumpuk uang yang menawarkan jaminan kenyamanan? Apakah itu gerangan? Ketenagan hati. Ya, berbuat baik pada orang lain dan memegang teguh komitmen pada nilai yang diyakini adalah obat paling mujarab dalam membebaskan diri dari hantu yang bernama rasa bersalah.
Subhanallah , memang rencana Allah Swt sedemikian dahsyatnya. Satu hari kemudian ketika saya membaca sebuah Harian Nasional Islami, tatapan saya tertumbuk pada sebuah kolom yang yang di tulis Mbak Nabila. Isinya adalah penjabaran praktikal tentang sebuah konsep yang diusung dalam salah satuhadist shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari: Jadikanlah tanah tempat kita berpijak dan mencari rezeki ini sebagai ”masjid”. Ya, masjid. Sebuah konsep ruang yang dipandang dari sudut manapun senantiasa dihubungkan dengan proses komunikasi dengan Allah Swt, alias tempat ibadah. Weleh-weleh, kalau bumi ini masjid, maka setiapaktivitas di dalamnya mestinya ibadah dong! Bersikap jujur dan berlari menembus badai hanya demi mengembalikan seribu rupiah pasti di maknai Si pemuda tukang pulsa ini sebagai ibadah! Maka ia bahagia ketika sadar bahwa misinya untuk tidak mengkhianati komitmennya tercapai.
Hidup ini tidak akan pernah merugi dan tidak akan pernah disesali bila kita menjalninya dengan sepenuh hati.
Langganan:
Postingan (Atom)